Kamis, 17 Februari 2011

HUKUM TENTANG PERBUATAN MANUSIA



Hukum syar’i adalah ‘khitaabus-Syaari’ (seruan dari sang pembuat hukum-Allah dan Rasul-Nya) yang berkaitan dengan amal perbuatan manusia. Hukum Syariat ditetapkan berdasarkan adanya ‘khithab’ (seruan) tersebut, sedang kejelasannya tergantung pada jelasnya makna dari suatu khithab. Khithab Syar’i adalah apa-apa yang terdapat dalam Al-Quran dan As-Sunnah yang berupa perintah dan larangan (kisah, riwayat dan sejenisnya tidak termasuk dalam pengertian hukum syar’i). Oleh karena itu pemahaman terhadap hukum syara’ sangat bertumpu pada pemahaman terhadap Al-Quran dan As-Sunnah, sebab keduanya merupakan sumber tasyri’.
Dengan memahami jenis khithabnya maka tidak setiap khithab Syar’i itu wajib dilaksanakan dan disiksa bila meninggalkannya atau haram melakukannya dan mendapat siksa bila dikerjakannya. Oleh karenanya, merupakan suatu perbuatan dosa dan kelancangan terhadap Dienullah, bila seseorang tergesa-gesa mencari penjelasan hukum bahwa hal itu adalah fardlu dengan hanya membaca satu ayat atau hadits yang menerangkan adanya tuntutan untuk melakukannya. Pada masa sekarang ini banyak kaum muslimin yang terjerumus ke dalam hal-hal tersebut. Yakni mereka terburu-buru menghalalkan atau mengharamkan suatu perkara, hanya membaca satu perintah atau larangan di dalam ayat Al-Quran dan hadits. Hal ini jarang terjadi pada orang-orang yang memahami makna tasyri. Karenanya merupakan kewajiban bagi kaum muslimin untuk memahami jenis khithab sebelum mengeluarkan pendapatnya yang menyangkut penunjukan jenis hukum syara’.

Memahami Makna Khithab

Memahami makna ayat atau hadits haruslah dengan pemahaman secara tasyri’ dan bukan pemahaman secara lughowiyah (bahasa) saja. Dengan demikian seorang muslim tidak akan melakukan kelancangan dan kesalahan. Mengharamkan yang telah dihalalkan Allah dan menghalalkan apa yang diharamkan Allah. Misalnya firman Allah SWT:

“Perangilah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan tidak pula kepada hari kemudian dan mereka tidak mengharamkan apa yang telah diharamkan Allah dan Rasul-Nya...” (QS. At Taubah: 29).
Dari ayat ini sesungguhnya Allah telah memerintahkan jihad dan perintah tersebut adalah wajib, Allah akan menyiksa bila meninggalkannya. Namun hukum wajib/fardhu tersebut tidak muncul hanya karena adanya bentuk perintah (amar) saja, melainkan juga adanya isyarat-isyarat (qarinah) lain yang menunjukkan bahwa perkara ini menuntut suatu perbuatan dengan ‘tuntutan yang pasti’. Qarinah yang dimaksud misalnya nash-nash yang lain seperti firman Allah berikut ini:

“(Dan) jika kamu tidak pergi berperang, maka Allah akan mengadzab kamu dengan adzab yang pedih “ (QS. At-Taubah: 39).
Demikian pula mengenai haramnya zina, Allah berfirman:

“Janganlah kamu mendekati zina...”
(QS. Al-Isra: 32).
Dari sini sesungguhnya Allah telah melarang perbuatan zina, dimana Allah akan menyiksa para pelakunya dari perbuatan tersebut. Walaupun demikian, status hukum haram tersebut tidak muncul hanya karena sighot nahi (bentuk larangan) dalam ayat itu saja, melainkan juga berdasarkan isyarat-isyarat (qarinah) lain yang merupakan nash-nash lain misalnya firman Allah SWT:

“... sesungguhnya (zina) itu adalah suatu perbuatan yang keji dan suatu jalan yang buruk.” (QS. Al-Isra: 32).

“Perempuan yang berzina dan lelaki yang berzina maka deralah tiap-tiap orang dari keduanya seratus kali dera“ (QS. An-Nuur: 2).
Begitu pula hukum-hukum yang diambil dari hadits Rasullullah saw, misalnya ketika Rasulullah bersabda:

“Shalat berjamaah itu lebih afdol dari shalat sendiri dengan kelebihan dua puluh tujuh derajat“ (HR. Imam Malik, Imam Ahmad dll.)
Sesungguhnya Rasul memerintahkan shalat berjamaah, meskipun tuntutan tersebut tidak berbentuk perintah. Begitu pula dalam sabdanya yang lain:

Aku pernah mencegah kalian untuk berziarah kubur, maka sekarang berziarahlah karena hal itu akan mengingatkan kepada kematian“
(HR. Al-Hakim).
Hadits tersebut memerintahkan untuk ziarah kubur, akan tetapi perintah dalam kedua hadits itu bentuknya sunnah dan bukan fardlu. Hukum sunnah tersebut tidak akan ditetapkan sebelum adanya isyarat yang lain, misalnya diamnya Rasulullah terhadap orang yang tidak ziarah kubur. Jadi isyarat tersebutlah yang menunjukkan bahwa tuntutan itu tidak bersifat wajib. Dalam sabdanya yang lain, beliau bersabda:

“Siapa saja yang mampu tetapi tidak menikah, maka ia tidak termasuk golonganku“
(HR. Iman Thabrani).
Diketahui pula bahwa Rasulullah saw melarang ‘tabathul’ (tidak mau beristri atau bersuami) sebagaimana dalam suatu hadits yang diriwayatkan dari Samuroh:

“Bahwa sesungguhnya Nabi saw mencegah tabaththul”.
Dari kedua hadits tersebut di atas dapat dipahami bahwa Rasulullah saw mencegah orang-orang yang mampu, untuk tidak beristri atau bersuami dalam haditsnya pertama, dan Rasulullah melarang secara mutlak terhadap seseorang untuk tidak memiliki pasangan dalam hadits yang kedua. Meskipun tidak berarti ketiadaan istri atau suami bukanlah haram secara mutlak. Tetapi larangan ini menunjukkan bahwa larangan itu hukumnya makruh. Status makruh ini diperoleh berdasarkan isyarat-isyarat yang lain, misalnya diamnya Rasulullah terhadap sebagian sahabat yang mampu tetapi tidak menikah. Dan ketika Allah SWT. berfirman:

“Apabila telah ditunaikan haji, maka berburulah..” (QS Al-Maidah: 2).

“Apabila telah selesai shalat Jum’at maka menyebarlah “ (QS. Al-Jumu’ah: 10).
Sesungguhnya Allah SWT memerintahkan berburu seusai melaksanakan ihrom haji dan memerintahkan bertebaran di muka bumi setelah melaksanakan shalat Jum’at. Tetapi perintah berburu seusai melaksanakan ihrom tersebut bukanlah wajib atau sunnah, (meskipun ada kata perintah) tetapi keduanya menunjukkan hukum mubah. Hukum mubah ini terlihat dari adanya isyarat dimana Allah telah melarangnya ketika ihrom. Demikian pula Allah memerintahkan bertebaran di muka bumi seusai shalat Jum’at sesudah Dia melarang hal tersebut ketika masuk waktu shalat Jum’at. Demikianlah isyarat/qorinah tersebut menunjukkan bahwa perkara tersebut adalah mubah, artinya bahwa perbuatan berburu dan bertebaran pada kondisi yang demikian itu adalah mubah.
Jadi untuk mengetahui jenis hukum dari suatu nash harus bersandar pada pemahaman nash tersebut secara tasyri’ dan kaitannya dengan qorinah yang memberikan petunjuk terhadap makna nash tersebut. Dari sini jelaslah bahwa hukum syariat itu bermacam-macam adanya. Menurut hasil pemahaman terhadap semua nash dan hukum-hukum, maka jenis hukum syar’i itu ada lima:
1.       Fardlu yang bermakna wajib
Yaitu seruan Syari’ yang berkaitan dengan perbuatan manusia berupa tuntutan untuk melakukan/menjalankan dengan sifat tuntutan jazm (pasti), artinya jika tuntutan itu diabaikan/tidak dilakukan maka ada ancaman siksa atau dosa. Contohnya jihad, shalat, shaum, dll.
2.       Haram yang bermakna terlarang
Yaitu seruan Syari’ mengenai suatu perbuatan untuk meninggalkan dengan sifat tuntutan yang pasti (jazm). Artinya apabila perbuatan itu dilakukan/dilanggar maka ia akan mendapat siksa/dosa serta hukuman di dunia (uqubat). Misalnya haramnya riba, zina, minum khamr, dll.
3.       Mandub (sunnah)
Yaitu seruan Syari’ berkaitan dengan suatu perbuatan untuk dilakukan dengan sifat tuntutan yang tidak jazm (pasti), apabila perbuatan itu dilakukan maka ia tidak mendapat siksa/dosa.
4.       Makruh
Yaitu seruan Syari’ yang menuntut untuk meninggalkan perbuatan dengan sifat tuntutan yang tidak jazm (tidak pasti). Contohnya: tabbatul (membujang), shalat dihadapan makanan atau sambil menahan buang air atau kentut.
5.       Mubah
Yaitu seruan Syari’ yang berkaitan dengan perbuatan berupa pilihan terhadap perbuatan tersebut, apakah menjalankan atau meninggalkan. Seruan berupa pilihan ini dapat diketahui dari qorinah-qorinah seperti diamnya Rasulullah saw terhadap perbuatan sahabat yang diketahui Rasul dan sebelumnya tidak ada perintah atau larangan berkaitan dengan perbuatan tersebut, perintah melakukan aktivitas yang sebelumnya dilarang atau melalui kata kalimat yang secara syar’i memiliki arti mubah. Contoh mubahnya jual beli, bertebaran di muka bumi setelah shalat Jum’at, dll.
Kelima macam hukum syara’ ini dikenal dengan istilah Ahkamul khomsah.

Tuntutan dalam Khithab

Kadang-kadang “khithab syar’i“ menuntut untuk melakukan suatu perbuatan, atau menuntut untuk meninggalkan suatu perbuatan, atau memberikan pilihan untuk melakukan atau meninggalkan suatu perbuatan. Dan tuntutan tersebut adakalanya yang sungguh-sungguh (pasti atau jaazim) dan ada kalanya tidak jaazim.
Jika tuntutan ini bersifat jaazim maka akan menjadi fardlu, dan jika tuntutan ini bersifat tidak jaazim maka akan menjadi hukum sunnah. Sedangkan bila tuntutan tersebut untuk meninggalkan suatu perbuatan (larangan), bersifat jaazim maka hukumnya akan menjadi haram, tetapi yang bersifat tidak jaazim maka hukumnya akan menjadi hukum makruh, Adapun yang memberikan alternatif maka hukumnya akan menjadi mubah.
Jadi, upaya penelaahan terhadap nash atau dalil-dalil syar’i untuk menetapkan suatu status hukum bagi perbuatan manusia atau suatu benda, memerlukan kecermatan dan kemampuan. Suatu perbuatan bersifat wajib atau haram, tidak semata-mata diambil dari adanya bentuk perintah atau larangan pada suatu ayat atau hadits. Dan tidak semua perintah berbentuk ‘ fiil amr’/kata perintah. Oleh karena itu betapa pentingnya hal ini diperhatikan, agar semboyan kembali kepada Al-Quran dan As-Sunnah justru tidak berujung pada munculnya sikap yang berani mempermainkan agama, membuat hukum-hukum baru, atau metode jihad baru.

Makna Fardlu Kifayah
Yang dimaksud dengan fardlu adalah khithab syar’i (seruan Allah) yang berkaitan dengan tuntutan yang pasti (jaazim) untuk berbuat sesuatu, seperti firman Allah SWT:

“Dirikanlah shalat ...”
Juga sabda Rasulullah :

“Seseorang dijadikan Imam adalah untuk diikuti“
(HR Ahmad, Abu Daud, Bukhari dan Muslim)
Juga sabdanya:

“Siapa saja yang mati dan tidak ada suatu bai’at di atas pundaknya, maka ia telah mati dalam keadaan jahiliyah.” (HR. Muslim)
Semua nash tersebut adalah khithab syar’i yang berkaitan dengan tuntutan terhadap suatu perbuatan dengan tuntutan yang pasti. Adapun yang menyebabkan tuntutan itu menjadi tuntutan yang pasti adalah adanya ‘qorinah‘ (isyarat) yang berkaitan dengan tuntutan tersebut sehingga jadilah tuntutan tersebut bersifat pasti dan wajib dilaksanakan.
Sesuatu yang wajib atau pasti, tidak akan gugur (hilang kewajiban melaksanakannya) dalam kondisi apapun sampai amalan fardlu tersebut terlaksana secara sempurna. Sedangkan orang yang meninggalkan amalan fardlu, maka ia akan mendapat siksa. Ia akan tetap berdosa selama belum melaksanakannya. Dan dalam hal ini tidak ada perbedaan antara “fardlu ‘ain“ dengan “fardlu kifayah”, semuanya itu adalah fardlu untuk seluruh kaum Muslimin. Jadi firman Allah SWT:

“Dirikanlah shalat “ (QS. Al-Baqarah: 43).
adalah fardlu ‘ain dan firman-Nya:

“Berangkatlah kamu sekalian dengan perasaan ringan atau berat dan berjihadlah di jalan Allah“ (QS. At-Taubah: 41),
adalah fardlu kifayah. Sedangkan Sabda Rasulullah saw:

“Seseorang dijadikan Imam (shalat) adalah fardlu untuk diikuti “ (HR. Ahmad),
adalah fardlu ‘ain. Juga sabdanya pula:

“Siapa saja mati sedangkan dipundaknya tidak ada bai’at, maka dia mati dalam keadaan jahiliyah“ (HR. Muslim dan Ahmad),
adalah fardlu kifayah.
Tetapi semua itu adalah fardlu yang telah ditetapkan oleh “khithab syar’i” dan berkaitan dengan tuntutan yang pasti untuk melakukan sesuatu perbuatan.
Karenanya usaha untuk memisahkan fardlu ‘ain dengan fardlu kifayah dari sisi yang sama-sama wajib adalah suatu perbuatan dosa kepada Allah SWT. dan menyimpang dari jalan Allah. Juga suatu kesalahan bila melakukan kelalaian terhadap pelaksanaan amalan-amalan fardlu. Begitu pula dengan gugurnya suatu kewajiban, maka antara keduanya (fardlu ‘ain dan fardlu kifayah) tidak ada perbedaan. Suatu yang fardlu tidak akan gugur melaksanakan kewajibannya, sehingga terlaksana kewajiban tersebut sebagaimana yang dituntut syara’. Sama saja apakah tuntutan itu tertuju pada setiap muslim (‘ain) seperti shalat lima waktu ataupun yang tertuju pada seluruh kaum muslimin (kifayah) seperti jihad dan menegakkan kembali khilafah. Semuanya tidak akan gugur kecuali telah dilaksanakan dan telah terwujud secara sempurna, artinya hingga shalat itu telah dilaksanakan serta telah terwujud adanya jihad dan khilafah. Dengan demikian kewajiban melaksanakan fardlu kifayah tidak akan gugur atas setiap muslim selama belum cukup dan belum sempurna pelaksanaannya. Bahkan setiap muslim tetap memikul dosa selama pelaksanaan fardlu kifayah belum sempurna (belum berhasil).
Adalah suatu kesalahan bila dikatakan bahwa, andai sebagian kaum muslimin ‘sedang melaksanakan fardlu kifayah, berarti telah gugur kewajiban tersebut. Pemahaman tersebut jelas salah. Sesungguhnya, fardlu kifayah akan gugur, jika sebagian kaum muslimin ‘telah’ melaksanakannya dengan syarat bahwa amalan yang dituntut tersebut telah dilaksanakan dan diwujudkan, serta tidak ada lagi kesempatan untuk menetapkannya (telah sempurna hasilnya). Inilah fardlu kifayah, dari sini ia sama persis denga fardlu ‘ain.
Oleh karena itu, jihad terhadap Prancis (1953) di Aljazair adalah fardlu/wajib untuk seluruh kaum muslimin, sebagaimana jihad kaum muslimin Indonesia mengusir Belanda. Ketika penduduk Aljazair bangkit melawan Perancis, maka tidaklah berarti bahwa kewajiban itu gugur dari kaum muslimin seluruhnya, sehingga Perancis benar-benar keluar dari Aljazair dan sempurna kemenangan atas kaum muslimin. Demikian pula terhadap kaum Muslimin Indonesia disaat mereka mengusir penjajah Belanda.
Demikianlah, setiap fardlu kifayah tetap menjadi kewajiban atas kaum muslimin, dan tidak gugur kewajiban tersebut sehingga amalan yang dituntut tersebut telah terlaksana dengan sempurna.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar