Rabu, 13 April 2011

???

tak ada kata yang lebih indah
selain kata AKU SAYANG PADAMU
tak ada sedih dan luka
ketika ku mendegar SUARAMU
malam ini butiran embun yang turun ke bumi
...adalah butiran SAYANGKU padamu
resapi, dan rasakan
rasa sayangku mengalir hingga hatimu yang terdalam
kubuat engkau bahagia
semampu aku

Rabu, 30 Maret 2011

Ketika Suami Istri tak Lagi Romantis



 
"Masak kamu nggak ngerti perasaanku, siih ? Masak aku harus selalu  ngomong apa yang aku inginkan ? Huuuh, sebel. Kamu memang nggak cinta  padaku." 
Pembaca budiman, pernahkah Anda berseteru dengan pasangan dan  mengucapkan kalimat seperti di atas ? Berseteru ? Wajar. Jangankan  kita, Umar bin Khatab ra saja juga bertengkar dengan istrinya.  Bahkan para istri Nabi saja pernah menuntut kenaikan uang belanja.  Yang harus kita pelajari dan tiru adalah bagaimana mereka bisa  mengelola perbedaan pendapat itu agar tidak berujung pada percekcokan  berkelanjutan bahkan perceraian. Sebaliknya, perbedaan dan  pertengkaran yang terjadi bisa dikelola secara baik dan Islami.  Gimana caranya, ya ?  

Kamis, 17 Februari 2011

SUMBER-SUMBER HUKUM ISLAM


Pembahasan sumber-sumber Syariat Islam, termasuk masalah pokok (ushul) karena dari sumber-sumber itulah terpancar seluruh hukum/syariat Islam. Oleh karenanya untuk menetapkan sumber syariat Islam harus berdasarkan ketetapan yang qath’i (pasti) kebenarannya, bukan sesuatu yang bersifat dugaan (dzanni).
Allah SWT berfirman:

“(Dan) janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai ilmu tentangnya.”
(QS. Al Isra: 36)

“(Dan) kebanyakan mereka tidak mengikuti kecuali persangkaan belaka. Sesungguhnya persangkaan itu tidak sedikit pun berguna untuk mencapai kebenaran.” (QS. Yunus: 36)

HUKUM TENTANG PERBUATAN MANUSIA



Hukum syar’i adalah ‘khitaabus-Syaari’ (seruan dari sang pembuat hukum-Allah dan Rasul-Nya) yang berkaitan dengan amal perbuatan manusia. Hukum Syariat ditetapkan berdasarkan adanya ‘khithab’ (seruan) tersebut, sedang kejelasannya tergantung pada jelasnya makna dari suatu khithab. Khithab Syar’i adalah apa-apa yang terdapat dalam Al-Quran dan As-Sunnah yang berupa perintah dan larangan (kisah, riwayat dan sejenisnya tidak termasuk dalam pengertian hukum syar’i). Oleh karena itu pemahaman terhadap hukum syara’ sangat bertumpu pada pemahaman terhadap Al-Quran dan As-Sunnah, sebab keduanya merupakan sumber tasyri’.
Dengan memahami jenis khithabnya maka tidak setiap khithab Syar’i itu wajib dilaksanakan dan disiksa bila meninggalkannya atau haram melakukannya dan mendapat siksa bila dikerjakannya. Oleh karenanya, merupakan suatu perbuatan dosa dan kelancangan terhadap Dienullah, bila seseorang tergesa-gesa mencari penjelasan hukum bahwa hal itu adalah fardlu dengan hanya membaca satu ayat atau hadits yang menerangkan adanya tuntutan untuk melakukannya. Pada masa sekarang ini banyak kaum muslimin yang terjerumus ke dalam hal-hal tersebut. Yakni mereka terburu-buru menghalalkan atau mengharamkan suatu perkara, hanya membaca satu perintah atau larangan di dalam ayat Al-Quran dan hadits. Hal ini jarang terjadi pada orang-orang yang memahami makna tasyri. Karenanya merupakan kewajiban bagi kaum muslimin untuk memahami jenis khithab sebelum mengeluarkan pendapatnya yang menyangkut penunjukan jenis hukum syara’.

Memahami Makna Khithab

Memahami makna ayat atau hadits haruslah dengan pemahaman secara tasyri’ dan bukan pemahaman secara lughowiyah (bahasa) saja. Dengan demikian seorang muslim tidak akan melakukan kelancangan dan kesalahan. Mengharamkan yang telah dihalalkan Allah dan menghalalkan apa yang diharamkan Allah. Misalnya firman Allah SWT:

“Perangilah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan tidak pula kepada hari kemudian dan mereka tidak mengharamkan apa yang telah diharamkan Allah dan Rasul-Nya...” (QS. At Taubah: 29).
Dari ayat ini sesungguhnya Allah telah memerintahkan jihad dan perintah tersebut adalah wajib, Allah akan menyiksa bila meninggalkannya. Namun hukum wajib/fardhu tersebut tidak muncul hanya karena adanya bentuk perintah (amar) saja, melainkan juga adanya isyarat-isyarat (qarinah) lain yang menunjukkan bahwa perkara ini menuntut suatu perbuatan dengan ‘tuntutan yang pasti’. Qarinah yang dimaksud misalnya nash-nash yang lain seperti firman Allah berikut ini:

“(Dan) jika kamu tidak pergi berperang, maka Allah akan mengadzab kamu dengan adzab yang pedih “ (QS. At-Taubah: 39).
Demikian pula mengenai haramnya zina, Allah berfirman:

“Janganlah kamu mendekati zina...”
(QS. Al-Isra: 32).
Dari sini sesungguhnya Allah telah melarang perbuatan zina, dimana Allah akan menyiksa para pelakunya dari perbuatan tersebut. Walaupun demikian, status hukum haram tersebut tidak muncul hanya karena sighot nahi (bentuk larangan) dalam ayat itu saja, melainkan juga berdasarkan isyarat-isyarat (qarinah) lain yang merupakan nash-nash lain misalnya firman Allah SWT:

“... sesungguhnya (zina) itu adalah suatu perbuatan yang keji dan suatu jalan yang buruk.” (QS. Al-Isra: 32).

“Perempuan yang berzina dan lelaki yang berzina maka deralah tiap-tiap orang dari keduanya seratus kali dera“ (QS. An-Nuur: 2).
Begitu pula hukum-hukum yang diambil dari hadits Rasullullah saw, misalnya ketika Rasulullah bersabda:

“Shalat berjamaah itu lebih afdol dari shalat sendiri dengan kelebihan dua puluh tujuh derajat“ (HR. Imam Malik, Imam Ahmad dll.)
Sesungguhnya Rasul memerintahkan shalat berjamaah, meskipun tuntutan tersebut tidak berbentuk perintah. Begitu pula dalam sabdanya yang lain:

Aku pernah mencegah kalian untuk berziarah kubur, maka sekarang berziarahlah karena hal itu akan mengingatkan kepada kematian“
(HR. Al-Hakim).
Hadits tersebut memerintahkan untuk ziarah kubur, akan tetapi perintah dalam kedua hadits itu bentuknya sunnah dan bukan fardlu. Hukum sunnah tersebut tidak akan ditetapkan sebelum adanya isyarat yang lain, misalnya diamnya Rasulullah terhadap orang yang tidak ziarah kubur. Jadi isyarat tersebutlah yang menunjukkan bahwa tuntutan itu tidak bersifat wajib. Dalam sabdanya yang lain, beliau bersabda:

“Siapa saja yang mampu tetapi tidak menikah, maka ia tidak termasuk golonganku“
(HR. Iman Thabrani).
Diketahui pula bahwa Rasulullah saw melarang ‘tabathul’ (tidak mau beristri atau bersuami) sebagaimana dalam suatu hadits yang diriwayatkan dari Samuroh:

“Bahwa sesungguhnya Nabi saw mencegah tabaththul”.
Dari kedua hadits tersebut di atas dapat dipahami bahwa Rasulullah saw mencegah orang-orang yang mampu, untuk tidak beristri atau bersuami dalam haditsnya pertama, dan Rasulullah melarang secara mutlak terhadap seseorang untuk tidak memiliki pasangan dalam hadits yang kedua. Meskipun tidak berarti ketiadaan istri atau suami bukanlah haram secara mutlak. Tetapi larangan ini menunjukkan bahwa larangan itu hukumnya makruh. Status makruh ini diperoleh berdasarkan isyarat-isyarat yang lain, misalnya diamnya Rasulullah terhadap sebagian sahabat yang mampu tetapi tidak menikah. Dan ketika Allah SWT. berfirman:

“Apabila telah ditunaikan haji, maka berburulah..” (QS Al-Maidah: 2).

“Apabila telah selesai shalat Jum’at maka menyebarlah “ (QS. Al-Jumu’ah: 10).
Sesungguhnya Allah SWT memerintahkan berburu seusai melaksanakan ihrom haji dan memerintahkan bertebaran di muka bumi setelah melaksanakan shalat Jum’at. Tetapi perintah berburu seusai melaksanakan ihrom tersebut bukanlah wajib atau sunnah, (meskipun ada kata perintah) tetapi keduanya menunjukkan hukum mubah. Hukum mubah ini terlihat dari adanya isyarat dimana Allah telah melarangnya ketika ihrom. Demikian pula Allah memerintahkan bertebaran di muka bumi seusai shalat Jum’at sesudah Dia melarang hal tersebut ketika masuk waktu shalat Jum’at. Demikianlah isyarat/qorinah tersebut menunjukkan bahwa perkara tersebut adalah mubah, artinya bahwa perbuatan berburu dan bertebaran pada kondisi yang demikian itu adalah mubah.
Jadi untuk mengetahui jenis hukum dari suatu nash harus bersandar pada pemahaman nash tersebut secara tasyri’ dan kaitannya dengan qorinah yang memberikan petunjuk terhadap makna nash tersebut. Dari sini jelaslah bahwa hukum syariat itu bermacam-macam adanya. Menurut hasil pemahaman terhadap semua nash dan hukum-hukum, maka jenis hukum syar’i itu ada lima:
1.       Fardlu yang bermakna wajib
Yaitu seruan Syari’ yang berkaitan dengan perbuatan manusia berupa tuntutan untuk melakukan/menjalankan dengan sifat tuntutan jazm (pasti), artinya jika tuntutan itu diabaikan/tidak dilakukan maka ada ancaman siksa atau dosa. Contohnya jihad, shalat, shaum, dll.
2.       Haram yang bermakna terlarang
Yaitu seruan Syari’ mengenai suatu perbuatan untuk meninggalkan dengan sifat tuntutan yang pasti (jazm). Artinya apabila perbuatan itu dilakukan/dilanggar maka ia akan mendapat siksa/dosa serta hukuman di dunia (uqubat). Misalnya haramnya riba, zina, minum khamr, dll.
3.       Mandub (sunnah)
Yaitu seruan Syari’ berkaitan dengan suatu perbuatan untuk dilakukan dengan sifat tuntutan yang tidak jazm (pasti), apabila perbuatan itu dilakukan maka ia tidak mendapat siksa/dosa.
4.       Makruh
Yaitu seruan Syari’ yang menuntut untuk meninggalkan perbuatan dengan sifat tuntutan yang tidak jazm (tidak pasti). Contohnya: tabbatul (membujang), shalat dihadapan makanan atau sambil menahan buang air atau kentut.
5.       Mubah
Yaitu seruan Syari’ yang berkaitan dengan perbuatan berupa pilihan terhadap perbuatan tersebut, apakah menjalankan atau meninggalkan. Seruan berupa pilihan ini dapat diketahui dari qorinah-qorinah seperti diamnya Rasulullah saw terhadap perbuatan sahabat yang diketahui Rasul dan sebelumnya tidak ada perintah atau larangan berkaitan dengan perbuatan tersebut, perintah melakukan aktivitas yang sebelumnya dilarang atau melalui kata kalimat yang secara syar’i memiliki arti mubah. Contoh mubahnya jual beli, bertebaran di muka bumi setelah shalat Jum’at, dll.
Kelima macam hukum syara’ ini dikenal dengan istilah Ahkamul khomsah.

Tuntutan dalam Khithab

Kadang-kadang “khithab syar’i“ menuntut untuk melakukan suatu perbuatan, atau menuntut untuk meninggalkan suatu perbuatan, atau memberikan pilihan untuk melakukan atau meninggalkan suatu perbuatan. Dan tuntutan tersebut adakalanya yang sungguh-sungguh (pasti atau jaazim) dan ada kalanya tidak jaazim.
Jika tuntutan ini bersifat jaazim maka akan menjadi fardlu, dan jika tuntutan ini bersifat tidak jaazim maka akan menjadi hukum sunnah. Sedangkan bila tuntutan tersebut untuk meninggalkan suatu perbuatan (larangan), bersifat jaazim maka hukumnya akan menjadi haram, tetapi yang bersifat tidak jaazim maka hukumnya akan menjadi hukum makruh, Adapun yang memberikan alternatif maka hukumnya akan menjadi mubah.
Jadi, upaya penelaahan terhadap nash atau dalil-dalil syar’i untuk menetapkan suatu status hukum bagi perbuatan manusia atau suatu benda, memerlukan kecermatan dan kemampuan. Suatu perbuatan bersifat wajib atau haram, tidak semata-mata diambil dari adanya bentuk perintah atau larangan pada suatu ayat atau hadits. Dan tidak semua perintah berbentuk ‘ fiil amr’/kata perintah. Oleh karena itu betapa pentingnya hal ini diperhatikan, agar semboyan kembali kepada Al-Quran dan As-Sunnah justru tidak berujung pada munculnya sikap yang berani mempermainkan agama, membuat hukum-hukum baru, atau metode jihad baru.

Makna Fardlu Kifayah
Yang dimaksud dengan fardlu adalah khithab syar’i (seruan Allah) yang berkaitan dengan tuntutan yang pasti (jaazim) untuk berbuat sesuatu, seperti firman Allah SWT:

“Dirikanlah shalat ...”
Juga sabda Rasulullah :

“Seseorang dijadikan Imam adalah untuk diikuti“
(HR Ahmad, Abu Daud, Bukhari dan Muslim)
Juga sabdanya:

“Siapa saja yang mati dan tidak ada suatu bai’at di atas pundaknya, maka ia telah mati dalam keadaan jahiliyah.” (HR. Muslim)
Semua nash tersebut adalah khithab syar’i yang berkaitan dengan tuntutan terhadap suatu perbuatan dengan tuntutan yang pasti. Adapun yang menyebabkan tuntutan itu menjadi tuntutan yang pasti adalah adanya ‘qorinah‘ (isyarat) yang berkaitan dengan tuntutan tersebut sehingga jadilah tuntutan tersebut bersifat pasti dan wajib dilaksanakan.
Sesuatu yang wajib atau pasti, tidak akan gugur (hilang kewajiban melaksanakannya) dalam kondisi apapun sampai amalan fardlu tersebut terlaksana secara sempurna. Sedangkan orang yang meninggalkan amalan fardlu, maka ia akan mendapat siksa. Ia akan tetap berdosa selama belum melaksanakannya. Dan dalam hal ini tidak ada perbedaan antara “fardlu ‘ain“ dengan “fardlu kifayah”, semuanya itu adalah fardlu untuk seluruh kaum Muslimin. Jadi firman Allah SWT:

“Dirikanlah shalat “ (QS. Al-Baqarah: 43).
adalah fardlu ‘ain dan firman-Nya:

“Berangkatlah kamu sekalian dengan perasaan ringan atau berat dan berjihadlah di jalan Allah“ (QS. At-Taubah: 41),
adalah fardlu kifayah. Sedangkan Sabda Rasulullah saw:

“Seseorang dijadikan Imam (shalat) adalah fardlu untuk diikuti “ (HR. Ahmad),
adalah fardlu ‘ain. Juga sabdanya pula:

“Siapa saja mati sedangkan dipundaknya tidak ada bai’at, maka dia mati dalam keadaan jahiliyah“ (HR. Muslim dan Ahmad),
adalah fardlu kifayah.
Tetapi semua itu adalah fardlu yang telah ditetapkan oleh “khithab syar’i” dan berkaitan dengan tuntutan yang pasti untuk melakukan sesuatu perbuatan.
Karenanya usaha untuk memisahkan fardlu ‘ain dengan fardlu kifayah dari sisi yang sama-sama wajib adalah suatu perbuatan dosa kepada Allah SWT. dan menyimpang dari jalan Allah. Juga suatu kesalahan bila melakukan kelalaian terhadap pelaksanaan amalan-amalan fardlu. Begitu pula dengan gugurnya suatu kewajiban, maka antara keduanya (fardlu ‘ain dan fardlu kifayah) tidak ada perbedaan. Suatu yang fardlu tidak akan gugur melaksanakan kewajibannya, sehingga terlaksana kewajiban tersebut sebagaimana yang dituntut syara’. Sama saja apakah tuntutan itu tertuju pada setiap muslim (‘ain) seperti shalat lima waktu ataupun yang tertuju pada seluruh kaum muslimin (kifayah) seperti jihad dan menegakkan kembali khilafah. Semuanya tidak akan gugur kecuali telah dilaksanakan dan telah terwujud secara sempurna, artinya hingga shalat itu telah dilaksanakan serta telah terwujud adanya jihad dan khilafah. Dengan demikian kewajiban melaksanakan fardlu kifayah tidak akan gugur atas setiap muslim selama belum cukup dan belum sempurna pelaksanaannya. Bahkan setiap muslim tetap memikul dosa selama pelaksanaan fardlu kifayah belum sempurna (belum berhasil).
Adalah suatu kesalahan bila dikatakan bahwa, andai sebagian kaum muslimin ‘sedang melaksanakan fardlu kifayah, berarti telah gugur kewajiban tersebut. Pemahaman tersebut jelas salah. Sesungguhnya, fardlu kifayah akan gugur, jika sebagian kaum muslimin ‘telah’ melaksanakannya dengan syarat bahwa amalan yang dituntut tersebut telah dilaksanakan dan diwujudkan, serta tidak ada lagi kesempatan untuk menetapkannya (telah sempurna hasilnya). Inilah fardlu kifayah, dari sini ia sama persis denga fardlu ‘ain.
Oleh karena itu, jihad terhadap Prancis (1953) di Aljazair adalah fardlu/wajib untuk seluruh kaum muslimin, sebagaimana jihad kaum muslimin Indonesia mengusir Belanda. Ketika penduduk Aljazair bangkit melawan Perancis, maka tidaklah berarti bahwa kewajiban itu gugur dari kaum muslimin seluruhnya, sehingga Perancis benar-benar keluar dari Aljazair dan sempurna kemenangan atas kaum muslimin. Demikian pula terhadap kaum Muslimin Indonesia disaat mereka mengusir penjajah Belanda.
Demikianlah, setiap fardlu kifayah tetap menjadi kewajiban atas kaum muslimin, dan tidak gugur kewajiban tersebut sehingga amalan yang dituntut tersebut telah terlaksana dengan sempurna.

AKHLAQ MERUPAKAN PERINTAH SYARA BUKAN SEKADAR SIFAT MORAL


Pengertian Akhlak

Khuluq (kata dasar akhlaq) dalam pengertian bahasa berarti sifat yang senantiasa nampak pada tingkah laku dan telah menjadi tabi’at, sebagaimana firman Allah SWT:

“(Dien kami) ini tidak lain hanyalah adat kebiasaan orang dahulu”
(QS Asy-Syu’araa: 137)

Maksud kata khuluq dalam ayat ini adalah tabi’at manusia dahulu dengan adat-istiadatnya. Apabila tingkah lakunya baik maka dikatakan khuluqnya baik, begitu pula sebaliknya bila tingkah-lakunya buruk maka khuluqnya buruk.
Menurut syara’, khuluq artinya Dien, sebagaimana firman-Nya:

Dan sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang agung” (QS. Al-Qalam: 4)
Maksud kata khuluq di sini adalah Dien yang mulia, disebabkan seruan ayat ini menunjukan arti khuluq sebagai Dien. Firman Allah SWT:

“Nun. Demi kalam dan apa yang mereka tulis, berkat ni’mat Rabbmu, kamu (Muhammad) sekali-kali bukan orang gila. Dan sesungguhnya bagi kamu benar-benar pahala yang besar yang tidak putus-putusnya. Dan sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang agung. Maka kelak kamu akan melihat. Dan mereka (orang-orang kafir) pun melihat siapa diantara kamu yang gila ” (QS. Al-Qalam: 1-6)

Dalam pembahasan ini mereka menganggap bahwa risalah yang disampaikan oleh Rasulullah saw adalah ‘gila’. Yang menjadi masalah (bagi kaum kafir Makkah) sebenarnya adalah Dien/ajaran yang dibawa oleh Rasul, bukan sifat (tingkah laku) Nabi itu sendiri (yang bertabiat baik, terpercaya dll.), karena sebelum beliau diutus menjadi Rasul pun, orang-orang Quraisy telah mengakui bahwa beliau adalah orang yang baik akhlaqnya (tingkah lakunya) sehingga diberi gelar Al-Amin. Oleh karena itu arti khuluq dalam ayat ini adalah Dien/agama, sebagaimana yang ditegaskan dalam Tafsir Al-Jalalain.
Sedangkan menurut istilah khuluq (akhlak) adalah sifat yang diperintahkan Allah SWT yang harus disifati oleh seorang muslim ketika melaksanakan perbuatan. Maka sifat khuluqiyah akan nampak pada seorang muslim tatkala dia menegakkan perbuatan seperti ibadah, muamalah, dan lain sebagainya. Contohnya khusyuk merupakan sifat yang nampak ketika seseorang menegakkan shalat, jujur sifat yang muncul ketika seseorang melakukan jual beli, dll.

 

Kedudukan Akhlak

Dalam Al-Quran, Allah SWT berfirman:

“Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepada kamu agar kamu dapat mengambil pelajaran ”
(QS. An-Nahl: 90)

Rasulullah saw bersabda dalam hadits shahihnya:

“Sesungguhnya Allah mencintai akhlaq mulia dan membenci akhlaq yang buruk”
(HR. Al-Hakim)
Juga sabdanya yang masyur:

“Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlaq”
(HR. Malik, Ahmad dan lain-lain)

Nash-nash tersebut menunjukan bahwa akhlaq termasuk bagian dari hukum-hukum Islam (perintah dan larangan Allah SWT). Ayat di atas misalnya menerangkan tentang hukum Allah mengenai akhlaq yang menunjukan perintah Allah SWT agar berbuat adil dan ikhsan, menghidupkan silaturahmi, melarang yang diharamkan serta melarang permusuhan antar sesama manusia. Begitu pula dengan hadits-hadits tadi menunjukan perintah berakhlaq secara umum.
Hadits-hadits Rasulullah saw telah mendorong manusia untuk memiliki sifat yang baik secara umum dan melarang manusia berakhlaq buruk. Nash-nash syara’ bahkan menerangkan sifat-sifat terpuji semisal jujur, amanah, iffah, menepati janji dan sebagainya. Walaupun semua itu akhlaq yang baik, nash-nash syara’ juga mengisyaratkan hal tersebut sebagai suatu hukum bahkan harus dilihat sebagai hukum syara’ (bukan hanya sebagai suatu sifat yang baik/buruk semata). Orang-orang yang memiliki akhlaq yang baik, haruslah dinilai sebagai pelaksanaan perintah Allah SWT. Kita tidak diperbolehkan melihatnya hanya sebagai sifat-sifat moral, karena seorang Muslim telah diperintahkan untuk melaksanakan hukum-hukum syara’ walaupun hukum-hukum itu berupa akhlaq dan tidak diperintahkan hanya memiliki sifat-sifat moral saja. Hal ini disebabkan bahwa ukuran baik dan buruk berkaitan dengan nash-nash syara’.
Allah SWT memerintahkan jujur dan melarang dusta bukan berdasarkan semata-mata bahwa sifat baik tersebut patut dicontoh, tetapi karena berdasarkan hukum syara’. Sebagai bukti bahwa Allah SWT melarang seorang Muslim berbohong, namun membolehkan kita berbuat bohong di medan perang. Jadi berbohong di sini termasuk bagian hukum syara’. Allah SWT memerintahkan bersikap keras terhadap orang-orang kafir dan melarang seorang hakim Muslim merasa iba atau kasihan terhadap seorang pelaku pidana. Seandainya perintah Allah SWT berlaku jujur, melarang berbuat dusta dan anjuran-Nya agar bersifat ramah hanya semata-mata untuk tujuan sifat khuluq saja, maka berarti hukum berdusta ini adalah suatu hal yang tidak berubah dalam keadaan bagaimanapun, begitu pula halnya dengan bersikap keras terhadap pelaku pidana. Namun demikian karena hal itu termasuk bagian dari hukum syara’, maka seorang hakim harus bersandar kepada ukuran baik dan buruknya sesuatu hanya berdasarkan syara’ semata. Jadi syara’ telah memberikan hukum berdusta dalam keadaan tertentu haram dan dalam keadaan tertentu diperbolehkan.
Karena itu, hukum-hukum syara’ tidak boleh dijadikan hanya sekedar diambil sifat akhlaqnya saja (segi manfaatnya), melainkan harus diperlakukan sebagai suatu perintah hukum. Dengan kata lain perlu ditekankan bahwa ajakan kepada manusia untuk berakhlaq bukan hanya karena sifatnya saja (maksudnya sifat yang baik), tetapi harus ditekankan bahwa hal ini termasuk bagian dari hukum syara’.
Apabila seorang Muslim bersikap jujur semata-mata sifat jujurnya saja, maka tidak akan mendapatkan ganjaran/pahala atas perbuatannya sebab ia mengerjakannya bukan berdasarkan syara’, tetapi hanya pada anggapan bahwa sifat jujur dianggap memiliki kebaikan atau manfaat baginya.
Kaum Muslimin perlu berhati-hati melakukan perbuatan dan tatkala mengajak orang lain untuk berakhlaq mulia sebab bila meraka lalai dan tidak memperhatikan hal ini maka mereka tidak dianggap melakukan hukum syara’. Lebih dari itu, hal ini dapat menjadikan perbuatan mereka sama dengan orang kafir, karena orang-orang kafir pun mengajak bersifat baik dan mereka menjalankan sifat-sifat yang dianggapnya luhur walaupun sudut pandang dan motivasinya berbeda-beda. Atau bisa juga mereka, orang-orang kafir itu karena melihat segi manfaatnya. Oleh sebab itu hendaknya kaum Muslimin memiliki akhlaq yang mulia karena dilandasi keyakinan bahwa sifat-sifat tadi adalah perintah Allah SWT.

Beberapa Contoh Akhlak Mulia

Al-Quran dan As-Sunnah menggambarkan dalam banyak tempat perihal berbagai contoh praktis akhlaq mulia, yang diantaranya:
1.       Jujur
Rasulullah saw bersabda:
“Sesungguhnya kejujuran akan mengantarkan kepada  kebajikan dan sesungguhnya kebajikan itu akan mengantarkannya ke surga. Dan seseorang yang senantiasa berkata benar dan jujur akan tercatat di sisi Allah sebagai orang yang benar dan jujur. Dan sesungguhnya dusta itu membawa kepada kejahatan yang akhirnya menghantarkannya ke neraka. Dan seseorang yang senantiasa berdusta akan dicatat disisi Allah sebagai pendusta”
(HR. Bukhary, Muslim ).
2.       Menjauhi Dengki (hasud)
Rasulullah saw bersabda:
“Hati-hatilah kamu sekalian terhadap hasad karena sesungguhnya hasad akan memakan habis seluruh kebaikan sebagaimana api yang melahap habis kayu bakar”
(HR. Abu Daud).
3.       Menepati Janji
Allah SWT berfirman:

“Hai orang-orang yang beriman, penuhilah ikatan-ikatan perjanjian itu”
(Q.S. Al-Maidah: 1), juga dijelaskan dalam QS. Al-Israa: 34, dan QS. An-Nahl: 91.
Rasulullah saw bersabda:

“Ciri-ciri orang munafiq ada tiga: (1) jika berbicara ia dusta, (2) jika berjanji ia mengingkari, dan (3) jika diberi amanat ia berkhianat“ (HR. Mutafaq’alaih)

4.       Sifat Malu
Rasulullah saw bersabda:
“Abi Said Al-Khudri meriwayatkan: adalah Rasulullah saw sangat tinggi rasa malunya, lebih pemalu dari gadis pingitan, apabila beliau tidak menyenangi sesuatu, kami dapat mengetahuinya dari wajah beliau“ (HR. Muslim).

5.       Suka Memaafkan
Allah SWT berfirman:

“... dan orang-orang yang menahan amarahnya serta memaafkan orang lain. Allah mencintai orang-orang yang berbuat kebajikan (muhsin)“ (QS. Ali Imron: 134).
Begitu pula firman Allah SWT dan Al-Qur’an surat Asy-Syuraa’: 39-40, dan 41-43 ; QS. An-Nuur: 22; QS. Fushshilat: 34-35; QS. Al-Hijr: 85; dan QS. Al-A’raf: 199.
Suatu ketika Uqbah bin Amir bertanya: ”Wahai Rasulullah beritahu aku keutamaan amal seseorang”. Rasulullah saw menjawab: “Wahai Uqbah hubungkan kembali tali persaudaraan kepada siapa yang telah memutuskannya denganmu, kasihilah orang-orang yang membencimu, berpalinglah dari yang menzhalimimu”. Dalam riwayat lain: “Berilah maaf kepada mereka yang menzhalimimu”
(HR. Ahmad dan Thabrani).

6.       Menjauhi Hal yang Tidak Bermanfaat
Rasulullah saw bersabda:
“Sesungguhnya setengah dari kebaikan Islam seseorang adalah meninggalkan hal yang tidak bermanfaat kepadanya”
(HR. Malik, Ahmad dan Thabrani).

7.       Menjauhi Perbuatan Menggunjing dan Adu Domba
Allah SWT berfirman:

“... dan janganlah sebagian dari kamu menggunjing sebagian yang lain. Sukakah salah seorang kamu memakan daging saudara sendiri yang sudah mati? Maka tentu kamu jijik kepadanya”
(QS. Al-Hujurat: 12).
Rasulullah saw bersabda:
“Siapa saja yang melindungi dirinya dari menggunjing terhadap saudaranya, maka ia akan berada di dalam kebenaran karena Allah dan akan diselamatkan dari neraka” (HR. Ahmad dan Thabrani).
Rasulullah saw juga bersabda:
“Tidak akan masuk surga orang yang suka mengadu domba” (HR. Mutafaq’alaih).

8.       Amar Ma’ruf Nahi Mungkar
Rasulullah saw bersabda:
“Sesungguhnya orang-orang kalangan Bani Israil; apabila salah seorang di antara mereka melakukan suatu kesalahan (dosa), maka orang lain tidak mencegahnya. Sehingga pada pagi harinya mereka duduk, makan dan minum seolah-olah mereka tidak pernah melihat perbuatan dosa yang kemarin dilakukan. Melihat kondisi mereka, Allah mensifati hati mereka melalui lisan Daud dan Isa ibnu Maryam dengan mengatakan: ‘Demikian itu terjadi karena mereka selalu berbuat durhaka dan melampaui batas’ (QS. Al-Baqarah: 61). Demi Dzat yang jiwaku yang akan dalam kekuasaan-Nya, sungguh telah diperintahkan atasmu beramar ma’ruf nahi munkar, mencabut kekuasaan orang jahat dan meluruskannya pada kebenaran dan atau Dia akan mencampakkan hatimu dan mengutukmu sebagaimana Dia mengutuk mereka (Bani Israil)” (HR. Thabrani).

9.       Mengunjungi Orang Sakit
Rasulullah saw bersabda:
“Kunjungilah oleh kalian orang yang sakit, berilah oleh kalian makanan bagi yang lapar. Dan lepaskanlah oleh kalian para tawanan” (HR. Bukhari).
Juga sabda Rasulullah saw:
“Hak seorang muslim terhadap muslim lainnya ada lima yaitu (1) menjawab salam, (2) mengunjungi yang sakit, (3) mengantarkan jenazah, (4) memenuhi undangan, (5) mendoakan orang yang bersin” (HR. Mutafaq alaih)

10.    Menghormati Tamu
Rasulullah saw bersabda:
“Siapa saja yang beriman kepada Allah dan Hari Akhir, maka muliakanlah tamunya dan selebihnya. Para sahabat bertanya: “Selebihnya itu apa ya Rasulullah? Jawab Beliau: ”Siang dan malamnya, serta menjamu tamu selama tiga hari, maka batas di luar itu sedekah’” (HR. Mutafaq’alaih).

11.    Menyebar Salam
Allah SWT berfirman:
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian masuk ke rumah orang lain sehingga kalian mendapat izin dan mengucapkan salam kepada penghuninya”
(QS. An-Nuur: 27).
Rasulullah saw bersabda:
“Sesungguhnya seutama-utamanya manusia di sisi Allah adalah siapa saja diantara kamu yang memulai mengucap salam”
(HR. Abu Daud dan Tirmidzi).
Rasulullah saw bersabda:
“Apakah kalian mau aku tunjukkan sesuatu yang jika kalian lakukan akan mendapatkan jalinan cinta kasih? Yaitu sebarkanlah salam diantara kalian” (HR. Muslim)
Salah seorang sahabat, Abdullah bin Umar r.a, sering berkeliling ke pasar, suatu hari seseorang bertanya kepadanya: “Apa yang Anda lakukan di pasar? Anda bukan seorang pedagang, tidak pula membeli dagangan, Anda juga tidak duduk dalam kepengurusan pasar tetapi mengapa Anda selalu ada di pasar” Ibnu Umar menjawab: “Aku sengaja setiap pagi ke pasar hanya untuk mengucapkan salam kepada Muslim yang aku temui” (HR. Bukhari).

Pengrusakan Akhlaq Oleh Musuh-Musuh Islam
Memang telah menjadi sunatullah, bahwa kaum Muslimin senantiasa dibayangi oleh segala manuver musuh-musuhnya untuk menjauhkan kaum Muslimin dengan ajaran-ajarannya. Ini telah terjadi semenjak cahaya Islam terpancar dari Makkah Al-Mukarramah dan akan terus terjadi hingga Allah menutup panggung kehidupan fana di dunia ini. Berbagai langkah senantiasa diwujudkan tanpa kenal lelah, didukung potensi dana, iptek dan kekuatan politis serta militer yang ada, mereka senantiasa membuat makar terhadap Ummat Islam.
Di antara aspek yang paling terasa pengaruhnya adalah semakin jauh ummat Islam dari sikap akhlaq Islami. Meski rendahnya akhlaq ummat kini, merupakan hasil suatu proses yang cukup panjang, namun hingga sekarang sedikit sekali kaum Muslimin yang menyadari hal tersebut. Karenanya, langkah untuk meninggikan kesadaran ummat terhadap fakta ini harus dilaksanakan sesegera mungkin.
Sarana perusakan yang paling berbahaya yang digunakan untuk merusak akhlaq dan tata kehidupan yang Islami adalah dengan menyuguhkan pemikiran yang salah bahkan bersifat destruktif yang mampu menjungkir-balikkan tatanan sosial yang Islami serta menciptakan lingkungan yang buruk di kalangan kaum Muslimin di seluruh dunia. Berbagai cara yang digunakan antara lain:

1.   Mengalihkan Ummat kepada Gaya Hidup Permisivisme-Materialisme (keserbabolehan mencari dan mencintai harta/dunia)

Sungguh musuh-musuh Islam telah mampu merusak jalan hidup dan akhlaq kebanyakan kaum Muslimin dengan menggunakan harta untuk membeli orang-orang berjiwa lemah, diarahkan sesuai dengan kehendak mereka. Dipasungnya kaum Muslimin dalam perbuatan suap-menyuap, manipulasi harta ummat, melakukan penimbunan secara haram, terbisa berbuat curang dengan dengan cara memperlicin usahanya melalui materi. Semua perbuatan tersebut seolah kebolehan tanpa dosa bisa dilakukan bahkan senantiasa berlomba mencari kesempatan untuk melakukannya. Penyakit tersebut telah menjalar ditengah-tengah masyarakat sehingga banyak kaum Muslimin yang terbengkalai. Setiap perbuatan tidak lagi menggunakan jalan yang disyariatkan oleh Islam melainkan hanya melihat ‘Apa yang bisa dan apa yang tidak bisa’, bukan ‘Apa yang boleh atau tidak’.

2. Pergaulan Bebas
Satu aspek di masyarakat Islam yang telah menggejala umum adalah adanya sikap bebas bergaul sesuai keinginan, asal tidak mengganggu orang lain. Seorang laki-laki boleh berbuat apa saja terhadap wanita yang ‘Suka sama suka’. Seorang remaja boleh berbuat semaunya sebagaimana yang ia dapatkan contohnya diberbagai media yang ada. Dari kondisi inilah muncul aktivitas free-sex, hancurnya nilai kasih sayang hakiki, merajalelanya prostitusi, meningkatnya angka aborsi, putusnya nilai-nilai kekeluargaan dan berakibat hancurnya pada tatanan sosial masyarakat.
Orang-orang yang tenggelam dalam pergaulan bebas tanpa batas sibuk dan mabuk oleh pesona-pesona yang nisbi tertipu oleh kesenangan yang semu, secara tidak sadar mereka tidak mempedulikan bahaya besar yang mengancam peradabannya. Masyarakat yang telah bercampur aduk seperti ini akan merusak tatanan sosial yang telah dibangun oleh Islam, menyebabkan hilangnya rasa saling mencintai, putusnya rasa persaudaraan dan akhirnya punahnya wujud eksistensinya, tidak ada lagi masyarakat yang bernama Masyarakat Islam.

3. Memperalat Kaum Wanita
Musuh-musuh Islam telah memperalat kaum wanita untuk merusak nilai Islami di masyarakat. Disebarluaskannya paham kesamaan derajat total pria dan wanita. Dibebaskannya aktivitas wanita sebagaimana pria. Maka batas pergaulan antara keduanya menjadi bias, karena pada hampir seluruh aktivitas pria, wanita senantiasa menyertai dan menyempurnakannya. Dengan daya tarik artifisial yang dipoles dengan kosmetika, wanita bergerak dihadapan pria sehingga menimbulkan ketertarikan syahwat. Sadar maupun tidak, langsung maupun tidak, hal ini berujung pada eksploitasi harkat wanita dalam masyarakat. Kewajiaban wanita sebagai ibu dan pemimpin masalah rumah tangga menjadi sirna, berganti menjadi perlombaan meraih prestise karir. Sebagian wanita bahkan telah rela menjadi jasad tanpa ruh, hanya sebagai benda pemuas naluri pria.
Lambat namun pasti, kemuliaan derajat wanita, luntur bersama lunturnya rasa malu pada dirinya. Wanita murah untuk menjadi agen penghancur tata nilai masyarakat Islam. Ummat harus menyadari terlebih-lebih para wanitanya.
Berbagai lapangan kemasyarakatan yang cukup sering digunakan dalam hal ini antara lain:
a.       Lapangan Pendidikan
Semboyan yang dikenal dalam bidang ini adalah “Peningkatan pendidikan wanita”, diarahkan menurut setting kehidupan liberalisme yang serba bebas. Metode pendidikan wanita yang tidak mendukung kemuliaan derajat dan kewajiban seorang Muslimah. Percampurbauran dalam pendidikan, dengan terbukanya aurat dan dijauhkannya Muslimah dari ilmu-ilmu wajib mereka sebagai ibu dan pengatur rumah tangga, menjadikan wanita ‘berpendidikan’ bukanlah wanita ‘bersyakhshiyah Islamiyah’ tetapi berkepribadian kapitalisme semu. Disinilah wanita Muslimah terpalingkan dari tugas utamanya sebagai pencetak generasi ummat yang lebih mulia dari generasi sebelumnya.
b.       Lapangan Seni Budaya
Tipu daya yang menonjol dalam bidang ini adalah menjadikan wanita sebagai objek seni. Wanita tak ubahnya sebagai alat yang dapat diwarnai, diparfumi, dibungkusi dengan media-media kosmetika dan mode. Film, majalah, radio dan televisi tak bisa lepas dari wanita. Disinilah wanita sebagai penarik sekaligus sebagai awal keruntuhan harkatnya. Ia hanya bernilai materi, tanpa nilai ruhani.
c.        Lapangan Industri dan Perdagangan
Wanita juga seolah tak lepas dari dunia industri dan perdagangan. Kecermatan dan ketekunan wanita, serta kelemahlembutanya dihargai murah untuk kerja mereka di sebuah pabrik atau untuk meluluskan sebuah rencana. Iklan sebagai ujung tombak pemasaran selau memanfaatkan wanita dengan berbagai keelokan non-alaminya, dengan desah suara dan kerling matanya. Maka angka penjualan berbagai produk menjadi meningkat meski tak ada hubungannya dengan ‘kewanitaan’. Sekali lagi wanita hanya sebatas tubuh dan ini cukup banyak menimpa kaum muslimah dari berbagai latar belakang.

4.       Memasyarakatkan Minuman Keras
Media minuman keras sebagai penghilang akal, dilarang keras dalam kehidupan masyarakat Islam. Namun justru kenikmatan nisbi yang ada didalamnya, telah dijadikan alat ampuh untuk menarik generasi muda Islam menjauhi nilai-nilai Islami. Berbagai jenis dan merek minuman keras yang disebar pada ribuan kios melalui iklan tanpa henti, menjadi hal yang lumrah di kalangan pemuda dan pemudi Islam. Ketergantungan terhadap minuman haram membawa kerusakan jasad dan jiwa generasi muda. Dari sinilah, kehancuran generasi berawal.

5.       Menciptakan Permainan yang Melalaikan Ummat
Di antara akhlaq kaum muslimin yang luhur adalah menjauhkan diri dari perbuatan yang tidak bermanfaat, menjauhi segala sesuatu yang dapat membuang-buang waktu tanpa faedah. Namun demikian kenyataan saat ini bertolak belakang dengan sikap yang seharusnya diambil. Jenis-jenis permainan dan hiburan yang menina-bobokan ummat telah dijadikan bagian hidup yang amat penting bagi kaum Muslimin. Berbagai bentuk olah raga yang diorganisasikan di seluruh penjuru dunia mengakibatkan potensi ummat yang begitu besar mengalami kelumpuhan total. Jutaan pemuda kaum Muslimin lebih mementingkan olah raga daripada bidang lain yang amat diperlukan ummat. Pengetahuan dan rasa cintanya terhadap olah raga telah mampu membiusnya dari ikatan-ikatan Islam yang dulu mereka banggakan terhadap ummat dan bangsa lain.

6.       Menuduh dan Mengicuh Muslimah Berjilbab

Untuk melicinkan tipu dayanya sebagian musuh Islam menempuh cara antara lain:
a.   Membuat opini negatif bahwa jilbab, diidentikkan dengan kebodohan, keterbelakangan, kolot, ketinggalan jaman, menghambat kemajuan dan produktifitas, hingga tuduhan-tuduhan ekstrim yang sungguh tidak layak ditujukan kepada mereka.
b.   Memfitnah muslimah berjilbab dengan cara menyusupkan beberapa wanita karier, fasik atau bahkan pelacur yang menggoda kaum laki-laki dengan mengenakan jilbab sehingga muncul; tuduhan dan fitnah buruk yang ditujukan kepada wanita muslimah yang mulia.
Demikian deskripsi ringkasan keadaan kepribadian dan akhlaq kaum Muslimin pada saat ini. Masih banyak lagi contoh yang tidak bisa dicontohkan satu persatu dalam kesempatan ini. Mereka yang membenci Islam dan ummatnya telah melancarkan upaya penghancuran yang tak terasa dari berbagai penjuru, dengan berbagai cara. Seharusnya generasi muda Islam segera menyadari merekalah cikal bakal dan sekaligus membentuk peradaban ummat masa depan. Keterlenaan mereka dalam membina diri dan akhlaq membawa konsekuensi terbengkalainya pembinaan ummat. Dan kehancuran ummat di masa depan harus dibayar di masa kini dengan kerja keras serta keterikatan terhadap aturan Islam.

Selasa, 15 Februari 2011

Bidadari senja

Bidadari senja.Kau selalu membuatku yakin. Cinta adalah bukti, bukan statistika. Cinta adalah pasti, bukan probabilitas. Dan kau, kalimat terindah dalam definisi cinta yang dibuat Tuhan untukku. Kau keindahan tak tergantikan, di antara langit dan bumi. Kau kalimat syukurku kepadaNya.